Diskusi Identifikasi Muatan HKI pada SNI Ternak Unggas dan Itik
Ciawi (20/9) – Balai Informasi Stantar Instrumen Pertanian (BISIP) selain memiliki tugas pelaksanaan pelayanan informasi, juga memiliki tugas pengelolaan hasil standardisasi instrumen pertanian. Tugas dalam satu rangkaian dengan pelayanan informasi ini terus digali mekanisme pelaksanaannya , apalagi ditengah terus berjalan penyusunan RSNI yang ditahun 2024 ini ditargetkan sebanyak 38 judul dalam Program Nasional Penyusunan Standar (PNPS) 2024.
Pelaksanaan tugas pengelolaan hasil standar sebagaimana diperoleh hasil diskusi rangkaian FGD yang digagas BISIP pada 12-14 Juni 2024 lalu, bahwa pada FGD-1 dengan seluruh Satuan Kerja BSIP diperoleh prinsip pelaksanaan yang harus memandang mitra di akhir atau ‘start from the end’. Artinya bahwa dalam menyusun SNI, harus dengan pertimbangan apakah ada penerapnya. Selanjutnya pada FGD-2 dengan K/L yang berperan dalam penyusunan standar, diantaranya hadir BRIN dan BSN selain juga Kementerian Teknis seperti KKP, KLHK, KemenkumHAM. Hasil dari FGD-2 diperoleh kesepakatan bahwa ‘apabila riset sudah ada peminatnya perlu didorong untuk mendapatkan penetapan standarnya guna memastikan terus berkelanjutan di industri’. Sedangkan dari FGD-3 dengan Kemenkeu diantaranya DJA, Ditjen Kekayaan Negara, bahkan juga Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), diperoleh bahwa ‘hasil standar sebagaimana berpotensi meningkatkan nilai tambah dan daya saing dapat menjadi usulan kodifikasi baru Aset Tak Berwujud (ATB)’. Ketiga hasil FGD ini kemudian menjadi pengantar diskusi dari Kepala BISIP dengan Balai Pengujian Standar Instrumen Unggas dan Aneka Ternak (BPSI UAT) di Ciawi, 20 September 2024.
Kunjungan Tim BISIP diterima oleh Kepala BPSI UAT, Dr. Andi Sainab, dan Tim Dr. Triana Susanti, serta dihadiri oleh Ketua Kelompok PHS PSI PKH, Hasanatun Hasinah, S.Pt., M.Si. serta Tim PSI PKH. Diskusi menggali informasi atas prinsip-prinsip ketiga hasil FGD yang ternyata juga terwujud pada penyusunan 3 SNI atas 3 galur ternak yang spesifik memiliki unsur hasil inovasi yang dapat dikatakan mengandung unsur HKI, terutama untuk ‘galur ternak ayam Janaka, galur ternak ayam Narayana Agrinak, dan itik Master’. Ketiga galur ini secara prinsip memang belum dilindungi dengan sertifikasi seperti halnya tanaman yang memiliki sertifikat perlindungan PVT. Diakui juga bahwa ternak berbeda dengan PVT pada tanaman, ungkap Dr. Andi Sainab. Namun demikian, ketiganya merupakan hasil inovasi. Diungkapkan oleh Dr. Triana Susanti, bahwa penetapan SNI ketiga galur ternak tersebut memang ditetapkan untuk bobot DOC (Day of Chicken) atau DOD (Day of Duck) untuk pembibitan agar tidak kurang dari yang distandarkan, sehingga hal ini memberi jaminan mutu ternaknya. Kemudian apabila ayam tersebut lebih atau kurang dari bobot yang distandarkan akan diarahkan pada ternak pedaging atau pembesaran saja, ungkapnya.
Memaknai bahwa prinsip dari hasil FGD-2 lalu seharusnya juga dapat diimplementasikan pada 3 SNI yang sudah diberlakukan sejak November 2023. Hal ini memberikan informasi bahwa kedepan atas ketiga galur ternak yang akan ada di peternak adalah yang sudah standar. Artinyanya hasil riset sudah didorong penggunaannya untuk penyusunan SNI, dan juga standar yang menjamin mutu serta keberlanjutan di industri peternakan ayam dan itik ini akan terjadi peningkatan. Dan dari informasi ini ke depan potensi BISIP adalah dalam melaksanakan pelabelan atas hasil standar ini, ungkap Dr. Ketut Gede Mudiarta selaku fungsional Ahli Pemanfaatan IPTEK madya dari BISIP. Selain juga akan ada margin nilai antara sebelum diterapkan SNI dengan setelah penerapan SNI pada peternakan ayam, khususnya ayam Narayana, ayam Janaka, dan itik master karena bibit yang sudah distandarkan bobotnya, ungkap Kepala BISIP, Nuning Nugrahani menambahkan. Potensi perhitungan margin inilah yang sebetulnya menjadi masukan dari hasil FGD-3 terkait dengan potensi hasil standar dapat menjadi kodifikasi baru ATB, ungkapnya lagi. Terutama dar potensi nilainya, bahkan ketika juga dilakukan pendampingan penerapan standarnya nanti hal ini menjadi potensi perhitungan corporate social responsibility (CSR), Balai-balai Penerapan sebagai Balai yang memiliki fungsi diseminasi dan penerapan standarnya, tambahnya lagi.
Hasil identifikasi bahwa SNI dapat mengandung ‘HKI’ benar terjadi dan ada, namun demikian BSN dalam penetapannya sudah menyampaikan dalam paragraf akhir bagian Prakata dari setiap penetapan SNInya bahwa mengenai perlindungan atas penggunaan muatan HKI yang ditetapkan sebagai SNI adalah diluar tanggung jawab dari BSN.
Memperhatikan diskusi yang terlaksana hari ini bahwa perlu juga dilanjutkan dengan diskusi kepada LSPro, terutama mungkin yang sudah beroperasi memberikan layanannya yaitu LSPro di Ditjen Perbibitan, Ditjen PKH, di LSPro BBPSI Mektan atau juga dengan BPSI Papua Barat yang sudah memiliki LSPro untuk kakao. Mengungkapkan potensi pelaksanaan tugas pengelolaan hasil standar di BISIP dari diskusi hari ini bisa saja peran BISIP adalah sebagai ‘pool dari SNI yang tersertifikat tidak saja yang mengandung HKI’ dan terutama apabila dimungkinkan ada potensinya juga BISIP menerapkan pelabelannya dan dapat mengikatnya dalam lisensinya. Hal mengenai pelabelan sebagaimana juga dilakukan untuk pelabelan aneka kelas benih yang dilakukan oleh BPSB di provinsi, ungkap Dr. Ketut sedikit menambahkan kesimpulan dari Kepala BISIP atas kemungkinan dengan pelabelan yang diikat dengan pelisensi ini akan menjamin penerapan standar dari SNI yang telah ditetapkan dan disusun oleh BSIP, disamping juga menambah keyakinan bahwa standar ini akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing, tutup Nuning.